Thursday, December 18, 2008

Bayar Hutang Ke Bukopin
PT KIMIA FARMA TBK TUNGGU PEMBAYARAN PEMBELIAN OBAT DARI PEMERINTAH

JAKARTA – PT Kimia Farma Tbk (KAEF) mengakui bahwa sampai saat ini pemerintah masih menunggak pembayaran pembelian obat sebesar Rp 140 miliar. Total pembelian dari pemerintah sendiri mencapai Rp 200 miliar. “Seharusnya pelunasannya sudah harus dilakukan akhir tahun ini, tapi kemungkinan akan ditunda sampai Januari 2009” Jelas, Syamsul Arifin, Direktur PT Kimia Farma Tbk, Kamis (18/12).

Dana dari pembayaran pemerintah ini rencananya akan digunakan untuk melunasi hutang KAEF kepada Bank Bukopin sebesar Rp 10 miliar. Fasilitas untuk kredit modal kerja tersebut sebenarnya sudah jatuh tempo pada 17 Desember lalu. KAEF sampai saat ini memiliki kewajiban atas pinjaman dari 3 Bank yakni Bank Bukopin sebesar 30 miliar, Bank BCA sebesar 40 miliar dan Bank Mandiri sebesar 70 miliar. Terkait masalah pinjaman dari Bank, Direktur Keuangan KAEF, Rusdi Rusman, mengatakan bahwa plafon pinjaman KAEF dibatasi pemerintah hanya sampai Rp 180 miliar saja. “memang ada tawaran dari beberapa bank nasional yang tentu masih kita pertimbangkan” Jelas Rusdi.

Namun begitu, tahun 2009 nampaknya KAEF akan lebih fokus mencari pendanaan dari luar negeri. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerugian akibat volatilitas rupiah. Menurut Syamsul Arifin, selama ini yang menjadi kendala adalah mahalnya harga bahan baku. Bahan baku industri KAEF 90 persen diantaranya adalah impor antara lain dari India, China dan Korea. “Kita akan mencari pola pembiayaan baru dengan principal luar negeri, misalnya dengan perpanjangan L/C” katanya.

Syamsul juga mengatakan bahwa selama ini pemerintah hanya menetapkan patokan kurs Rp 9.000 untuk pembelian bahan baku, sehingga harga jual produk KAEF juga mengacu pada asumsi kurs tersebut. Padahal pada kenyataannya KAEF melakukan transaksi pembelian bahan baku dengan kurs Rp 13.000. Selisih kurs yang cukup besar inilah yang dirasa KAEF cukup berat. Per tahun nilai pembelian bahan baku industri KAEF mencapai USD 100 juta. Karena hal inilah, KAEF sendiri juga berencana meminta penyesuaian nilai kewajaran harga dari pemerintah. “Tidak benar kalau kita dapat subsidi atau PSO (Public Service Obligation) dari pemerintah, kita hanya akan mengusulkan adanya dana talangan, namun ini kan perlu proses yang panjang” jelas Syamsul.

Laba Bersih Turun
Tahun 2009 dihadapi KAEF dengan cukup optimis. KAEF menargetkan penjualan tahun 2009 bisa mencapai Rp 3,08 triliun. Nilai tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 15,7 persen dari prognosa penjualan tahun 2008. Sampai akhir tahun 2008 sendiri KAEF menargetkan penjualan RP 2.660.377.000.000. Namun begitu KAEF juga cukup realistis dalam menghadapi krisis keuangan global. KAEF memperkirakan tahun 2009 laba setelah pajaknya akan mengalami penurunan 9,2 persen dari prognosa 2008 menjadi Rp 48,7 miliar. Tahun 2008 KAEF memperkirakan akan mencatatkan laba bersih sebesar Rp 53.640.000.000. jumlah tersebut mengalami kenaikan sebesar 2,78 persen dari laba bersih tahun 2007 yang sebesar Rp 52.189.000.000.

Pemasaran produk KAEF memang hampir 100 persen ke pasar domestic. Pemerintah sendiri selama ini membelanjakan USD 100 juta untuk pembelian produk obat dari BUMN farmasi termasuk KAEF. Segmen yang menjadi fokus KAEF adalah konsumen kelas menengah ke bawah. Menurut Syamsul, konsumen yang biasa mengkonsumsi produk mahal kemungkinan akan akan turun menjadi kelas medium akibat krisis. Sama halnya dengan konsumen kelas bawah yang kehilangan daya beli, akhirnya akan memanfaatkan program JAMKESMAS pemerintah. “Jadi kita tidak kehilangan permintaan kan? produk medium laku, produk kelas bawah juga dibeli pemerintah” jelas Syamsul.

Tahun 2009 KAEF akan menganggarkan capex sebesar Rp 50 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk penambahan apotek, klinik, dan laboratorium klinik. Saat ini KAEF telah memiliki 350 apotek, 36 klinik dan 35 laboratorium klinik. Selain itu di tahun 2009 KAEF juga akan meningkatkan penjualan ekspor dan pengembangan produk baru. Beberapa produk obat yang akan dikembangkan adalah obat ARV, TB dan Cancer. Bahan baku obat ARV sendiri banyak rencananya akan diimpor dari Korea, China dan India. Bahan baku obat TB akan diimpor dari India, dan bahan baku obat cancer akan diimpor dari India dan Korea. “Pasar kita saat ini kebanyakan kan lokal, ekspor sekarang cuma 1 persen saja” kata Rusdi Rusman.

Analis (Akhmad Nurcahyadi/BNI Securities)
Industri farmasi ke depan nampaknya akan mengalami sunset. Terkait dengan adanya krisis global yang membuat daya beli masyarakat rendah. Di samping itu juga masih rendahnya kepedulian msyarakat akan kesehatan, tentu membuat konsumsi obat menjadi menurun. Adanya pembelian dari pemerintah bias menjadi penopang penjualan. Namun yang harus diperhatikan adalah sampai sejauh mana pemerintah mampu menanggung pembelian khususnya untuk obat murah bagi masyarakat. Adanya kenaikan harga bahan baku impor secara logis akan membuat beban semakin bertambah. Pasar juga akan mengalami penurunan demand termasuk juga di loka. Sahamnya masih belum cukup menarik bagi investor. Preferensi investor akan saham ini masih cukup kurang walaupun pada kenyataannya fundamental perusahaan cukup bagus. Sebaiknya hindari dulu membeli saham ini.

No comments:

Blog Archive