Friday, February 6, 2009

PRESS RELEASE
KETUA SPS TELANTARKAN KARYAWAN INDONESIA BUSINESS TODAY

JAKARTA—Sungguh ironis, kongklomerat pers yang juga ketua Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Dahlan Iskan, ternyata menelantarkan karyawannya. Itulah yang terjadi pada Koran Indonesia Business Today. Koran yang dimilki oleh raja media, Dahlan Iskan tersebut, mulai Kamis (5/2) menghentikan kegiatannya.

Penghentian penerbitan tersebut merupakan puncak kekecewaan para awak Indonesia Business Today kepada Dahlan. Di antara kekecewaan tersebut adalah belum dibayarnya gaji karyawan sejak Desember 2008. Karaywan sendiri sebenarnya sudah mencoba menuruti kemauan Dahlan yang mencoba melakukan efisiensi dengan mengubah Koran yang berdiri sendiri menjadi sekedar sisipan di Indo Pos.

November 2008, di kantor Indonesia Business Today, di kawasan Fatmawati Jakarta, Dahlan mengatakan bahwa kondisi ekonomi dunia yang sedang dilanda krisis pasti akan mengimbas ke Indonesia. “Sebelum krisis melanda, kita harus sudah mengantisipasinya,”ujar Dahlan ketika itu.

Karena itulah, lanjut Dahlan,”Kita harus melakukan upaya agar tidak tergilas oleh krisis.” Untuk itulah, solusi yang ditawarkan oleh Dahlan adalah melakukan penggabungan dua Koran yakni Indonesia Business Today dengan Indo Pos. Penggabungan itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa masing-masing punya kelebihan. Indonesia Business Today kuat di rubric-rubrik ekonomi, sementara Indo Pos, katanya kuat di Politik.

Jika kelebihan-kelebihan itu digabungkan, tentu akan menghasilkan produk atau koran yang unggul di semua lini. Sehingga diharapkan, sinergi tersebut bisa menjadi senjata yang ampuh untuk memenangkan persaingan media cetak yang makin tajam belakangan ini.

Ketika ide itu dilontarkan, banyak Indonesia Business Today yang merasa resah. Karena bukan tidak mungkin jika itu dilakukan, pasti akan mengurangi jumlah karyawan. Hal itu bukan tanpa alasan. Soalnya, bagaimana mungkin mempertahankan jumlah karyawan yang ada sementara jumlah halaman yang harus dikerjakan dipotong hanya tinggal sepertiga. Yaitu dari 24 halaman menjadi hanya 8 halaman saja. Selain itu, divisi sirkulasi dan iklan juga akan disatukan.

Toh, kekhawatiran tersebut, ditepis oleh Dahlan. Menurutnya masalah pengurangan karyawan tidak ada hubungannya dengan pengurangan jumlah halaman. “Pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak ada kaitannya dengan kebijakan baru ini. Jika memang kualitas karyawan sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan, maka tidak akan ada yang di PHK,”tegasnya.

Mulai Penggabungan
Rencana itu pun, mulai dijalankan. Beberapa kali rapat koordinasi dilakukan dengan pihak Indo Pos. Nama-nama karyawan yang akan dipekerjakan dalam kerjasama in pun, mulai dibahas, termasuk berapa mereka akan menerima gaji.

Alangkah kagetnya para awak redaksi Indonesia Business Today ketika mendengar usulan dari Indo Pos, bahwa gaji karyawan Indonesia Business Today akan dipotong dengan besaran yang tidak tanggung-tanggung. Dalam kerjasama tersebut, awak Indonesia Business Today akan dipotong gajinya rata-rata 50 persen. Bahkan ada yang ditirunkan posisinya dari redaktur menjadi reporter dengan potongan gaji hingga 70 persen. Selain itu, dari sekitar 50 nama awak redaksi yang ada, hanya 28 yang akan diterima menjadi bagian koran baru tersebut.

Tentu saja usulan tersebut sangat memukul para awak Indonesia Business Today. Negosiasi pun, dilanjutkan beberapa kali hingga akhirnya disepakati jumlah awak yang akan dipekerjakan adalah sesuai usulan Indonesia Business Today. Selain itu, potongan gaji juga direvisi menjadi antara 10 persen hingga 25 persen sesuai dengan posisi karyawan tersebut. Maka, sejak Desember 2008, resmilah Indo Pos cetak 32 halaman, dengan 8 halaman Indonesia Business Today.

Rupanya, kesepakatan hanya tinggal kesepakatan, karena Dahlan sama sekali tidak menepati janji. Akhir Desember 2008, para awak Indonesia Business Today ternyata tidak menerima gaji seperti yang dijanjikan. Untunglah manajemen Indonesia Business Today merupakan orang-orang yang bertanggungjawab terhadap semua kewajiban terhadap karyawan. Dengan upaya keras, manajemen akhirnya mendapat dana pinjaman untuk membayar gaji karyawan.

Mulai dari situlah kekecewaan-demi kekecewaan dialami oleh para awak Indonesia Business Today. Yang paling menyakitkan adalah ketika dalam kondisi kritis yang membutuhkan perhatian pemilik perusahaan, ternyata Dahlan Iskan sangat sulit dihubungi. Keresahan pun, makin memuncak seiring dengan mendekatnya tanggal gajian Bulan Januari.

Selama seminggu sebelum tanggal gajian, pihak manajemen berupaya keras untuk menghubungi Dahlan. Sayang panggilan telepon, pesan singkat, maupun surat elektronik tidak ditanggapi sama sekali oleh Dahlan. Akhirnya bulan Januari pun, berakhir tanpa ada kabar berita sama sekali dari Dahlan. Yang ada hanyalah pemberitahuan dari Indo Pos, yang berjanji akan membayar gaji karyawan. Namun, surat itu sangat menyakitkan karena isinya memberitahukan bahwa karyawan hanya akan menerima 50 persen gaji. Itu pun, jumlah penerima hanya 28 orang bukan 50.

Lagi-lagi janji hanya sekedar janji. Sepeser pun, tidak ada dana yang keluar dari Dahlan. Akibatnya, kembali manajemen yang pontang-panting mencari dana talangan untuk membayar gaji karyawan.

Kekecewaan demi kekecewaan itulah akhirnya yang membuat awak Indonesia Business Today mulai 5 Februari 2009 menghentikan semua kegiatan jurnalistik.

Dengan berbagai fakti itulah, karyawan Indonesia Business Today, akan melakukan langkah-langkah yang dianggap perlu untuk menuntut hak sesuai dengan ketentuan hokum dan perundangan yang berlaku di Indonesia.


Forum Karyawan Indonesi Business Today


Ketua
Wahid Rahmanto

Sekretaris
Dewi Agustina


Kontak Person:
Wahid Rahmanto (HP) 0852-1328-2938

Wednesday, February 4, 2009

MASIH PERLUKAH BUYBACK?

JAKARTA – Kebijakan buyback yang diberikan oleh Bapepam sejak meluasnya dampak krisis keuangan global lalu, ternyata masih belum dimaksimalkan oleh beberapa emiten. Hal tersebut terbukti dari masih adanya 8 emiten yang belum merealisasikan program buybacknya.

Dalam siaran pers oleh Bapepam (3/2/2009), ternyata masih ada 8 emiten yang belum merealisasikan buybacknya. Selain itu juga tercatat 5 emiten mengajukan perpanjangan program buyback. Dari delapan emiten yang belum melakukan buyback tersebut, sebanyak 5 emiten bahkan sudah lewat masa periode buybacknya. Dari kelimanya emiten tersebut juga tercatat Kimia Farma dan PT Timah yang notabene merupakan BUMN.

Dengan melihat kondisi pasar yang sudah mulai membaik, maka tak heran jika banyak pihak yang kemudian mempertanyakan efektfitas jika kebijakan buyback tetap dilakukan. Memang selama ini banyak perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia yang memanfaatkan fasilitas buyback oleh Bapepam. Semenjak terpaan badai krisis keuangan global pada medio 2008 lalu, Bapepam memang memberikan “legalitas” untuk melakukan buyback bagi emiten. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak pasar yang berfluktuasi secara signifikan. 

Namun begitu, usai proses buyback periode pertama dilakukan, banyak yang mempertanyakan efektifitas buyback yang dilakukan oleh beberapa emiten termasuk emiten BUMN. Menurut pengamat pasar modal, Daniel Listiadi, dari beberapa program buyback yang selam ini dilakukan, hanya PTBA yang terlihat signifikan manfaat buybacknya, sedang saham emiten-emiten lainnya ternyata masih berada dalam tekanan.

Ia sendiri menilaiprogram buyback yang banyak dilakukan saat ini memang sedikit special. Hal itu karena kebijakannya agak sedikit diperlonggar oleh otoritas bursa, mengingat kondisi bursa memang masih dalam tekanan. Namun menurutnya, jika dilihat lebih jauh lagi, selama ini rasio antara jumlah maksimal saham yang akan dibuyback dengan dana yang disediakan untuk buyback, masih sangat jauh. 

Menurut Daniel, kondisi sekarang agaknya berbeda karena bapepam banyak memberikan support. “Nampaknya mereka ingin menjaga valuasi saham-saham BUMN” jelasnya. Ia menambahkan bahwa kebijakan buyback ini sepertinya dilakukan untuk penyelamatan saham-saham BUMN. 

Jika diperhatikan lagi, memang selama ini program buyback yang dilakukan oleh banyak emiten, terbilang berjalan lambat dan realisasinya tidak terlalu signifikan. Daniel memperkirakan bahwa hal-hal yang membuat hal tersebut terjadi adalah bahwa volatilitas harga di pasar ternyata sudah mulai terangkat naik dengan sendirinya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa jika kondisi ini terjadi, bisa saja emiten menghentikan program buybacknya. “Lebih baik dana yang masih tersedia digunakan untuk investasi usaha lain” jelasnya.

Hal lain yang juga mempengaruhi kebijakan buyback adalah bahwa, kondisi keuangan dan kinerja sektor emiten masing-masing, masih dalam tekanan. Sehingga yang terjadi selama ini porsi buyback yang terealisasi agak kurang. Seperti contoh Kimia Farma yang masih belum ada realisasi buybacknya. “Bisa saja karena melihat pergerakan sahamnyasudah agak bagus dengan sendirinya, maka buyback tidak direalisasikan” ungkapnya. Namun jika dilihat dari sektor farmasi, ia menilai hanya KLBV yang masih rekomendasi untuk buy.  “Emiten lainnya masih mengalami hambatan” katanya.

Secara umum Daniel memperkirakan kondisi pasar modal indonesia ke depan, baru akan mencapai peak up pada kuartal 2 2009. Namun hal tersebut masih harus menunggu implementasi paket stimulus dari beberapa negara, khususnya amerika. “Kondisi ekonomi global saat ini memang masih melemah, namun di level nasional, dengan adanya tren pemangkasan BI rate, dan autorejection yang baru, nampaknya akan memberikan dampak yang signifikan” pungkasnya. 

Monday, February 2, 2009

SAMPOERNA AGRO BUKUKAN PENJUALAN Rp 2,288.21 TRILIUN SELAMA 2008

Penjualan PT Sampoerna Agro Tbk tahun 2008 lalu mencapai Rp 2,288.21 triliun. Jumlah tersebut melonjak 41 persen dari penjualan tahun 2007 sebesar Rp 1.598.930.908.000. Menurut Corporate Secretary SGRO, Budianto Tjuaja, kepada Indonesia Business Today, Senin (2/1), kenaikan penjualan tersebut sebagai akibat dari jumlah produksi CPO sebesar 8 persen. 

Dari data produksi tahun 2008 sebanyak 1.079.568 ton berasal dari Tandan Buah Segar (TBS) Sumatera. Sebesar 150.950 ton dari TBS di Kalimantan. Di Sumatera, SGRO memiliki lahan seluas 70.614 hektar sedang di Kalimantan SGRO mempunyai lahan seluas 90.055 hektar. 

Produksi minyak sawit sebesar 265.468 ton, inti sawit mengasilkan 70.622 ton. Untuk kecambah dan karet sepanjang tahun lalu produksinya masing-masing mencapai 22,735 juta biji dan 483 ton. 

Sumbangan terbesar dari penjualan tahun 2008 berasal dari penjualan CPO sebesar Rp 1,932.74 triliun. Budiman mengakui memang tahun 2008 lalu sempat menaikkan harga CPO nya. Namun ia belum bisa mengatakan akankah terjadi kenaikan harga di tahun 2009. "Saya sendiri belum tahu, tapi krisis keuangan global yang terjadi selama ini relatif tidak banyak mempengaruhi kinerja kita" ujarnya. 

Adanya kenaikan harga minyak secara drastis tahun 2008 lalu, memang membuat CPO menjadi primadona. Produksi dan penjualan CPO dunia mengalami kenaikan drastic. Namun ketika momen kenaikan harga minyak selesai, dan harga minyak terus turun akibat melimpahnya produksi, harga komoditas CPO sempat anjlok. Tercatat pada perda September tahun lalu, saat harga minyak mulai turun, harga CPO untuk pengiriman November di Malaysia Derivatives Exchange, merosot 6,7% menjadi RM2.090 atau setara dengan US$605 per ton. Harga tersebut adalah level terendah sejak April 2007. 

Harga jual rata-rata komoditas SGRO tahun 2008 lalu, minyak sawit sebesar Rp 6.730 er kilogram. Inti sawit selama 2008 rata-rata dijual Rp 3.564 per kilogram. Untuk komoditas kecambah, per biji harga rata-ratanya sebesar Rp 5.182 selama 2008. Sedang untuk komoditas karet harga jual tahun lalu rata-rata sebesar Rp 12.925 per kiligram. 

Penjualan inti sawit selama 2008 lalu adalah sebesar Rp 253,72 miliar. Dari produksi kecambahnya, SGRO berhasil mendapatkan penjualanl Rp 95,51 miliar. Sementara dari hasil karetnya, SGRO membukukan penjualan Rp 6,24 miliar selama tahun 2008. 

Dari data tersebut dapat dilihat jika permintaan dalam negeri akan produk komoditas dari SGRO tidak mengalami penurunan akibat krisis. "Selama ini hapir 95 persen lebih penjualan kita di dalam negeri" terang Budianto. Untuk ekspor, kebanyakan komoditas SGRO dipasarkan di kawasan Asia

Pada penutupan perdagangan kemarin, Senin (2/1), harga saham SGRO ditutup melemah 0,02 persen ke level Rp 1.150 denga frekuesi transaksi sebanyak 167 kali. Kapitalisasi pasarnya sendiri mencapai Rp 2.173.499.998.208.

Analis David Cornelis/Pengamat Pasar Modal

Adanya tren penurunan harga minyak akan sangat berpengaruh terhadap harga komoditas. Ekspektasinya pada tahun 2009 ini minyak mengalami konsolidasi yang artinya sudah mendekati bottomnya. Sehingga diharapkan dapat kembali rebound, setelah turun jauh dengan siginfikan di tahun 2008. Walaupun terjadi deflasi dalam 2 bulan terakhir, masih ada optimisme di industri CPO. Apalagi Indonesia sebagai negara produsen terbesar (di samping Malaysia). akan memiliki power sebagai market leader dan dapat melakukan langkah-langkah untuk menjaga stabilitas harga. Dengan ekspektasi sudah mulai terjadi perlambatan penurunan, (yang sekarang terlihat mulai konsolidasi) dan diproyeksikan akan mulai lagi rebound di H2, seiring terjadinya recovery global economic, maka untuk sekarang sektor ini masih kurang atraktif dan investor cenderung ke sektor lainnya. Namun untuk jangka panjang, ini masih prospektif. Di sektor komoditas ini, masih prefer AALI over all dan kedua LSIP. (Buy on Weakness)

 

 

 

 

Sunday, February 1, 2009

HOLCIM JAMIN TAK ADA PENGHENTIAN PABRIK

JAKARTA – PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) menjamin bahwa kondisi perseroan saat ini masih cukup kuat. Hal tersebut disampaikan oleh Manajer Komunikasi SMCB, Budi Primawan ketika ditanya mengenai kemungkinan penghentian sementara kegiatan pabrik perseroan akibat gejolak ekonomi global.

Hal ini terkait dengan adanya kabar bahwa Holcim Ltd untuk mempertimbangkan menutup beberapa pabriknya di Holcim Philippines Inc akibat turunnya demand. Dalam keterbukaan informasi yang disampaikan di Philipine Stock Exchange (26/1) lalu, pihak Holcim Philipines Inc mengkonfirmasi kebenaran substansial pernyataan COO Holcim, Ian S Thackwray. Ian S Thackwray sempat mengatakan ada kemungkinan penghentian sementara kegiatan pabrik semen Holcim di Philipina akibat slow demand. Ian sendiri juga mengatakan bahwa, jika hal tersebut jadi dilakukan, pihaknya menjamin tidak akan ada layoff karyawan.

Dalam kaitannya dengan berita tersebut, Budi Primawan meyakinan bahwa saat ini demand nasional terhadap produk semen masih ada. Ia sendiri mengatakan bahwa kinerja perseroan tahun lalu cukup bagus, walaupun ia bersedia menyebut angka pasti. “Tapi semua terefleksi dari kinerja Q3 2008 yang cukup baik, pasti naik” ujarnya kepada Indonesia Business Today, Minggu (1/2). Dari laporan Q3 2008, SMCB mencatat penjualan di atas Rp 3 triliun dan laba bersih Rp 546,868 miliar, semuanya naik dari 2007.  

Lebih lanjut untuk pembangunan pabrik ketiga di Tuban, Budi mengakui bahwa kemungkinan tidak akan terealisasi tahun ini. Hal tersebut karena kondisi masih sulit sehingga terjadi penundaan. Penundaan ini sendiri terjadi karena pembengkakan biaya pembangunan pabrik akibat adanya kenaikan harga baja. Diperkirakan pembengkakan mencapai 25-43 persen dari anggaran dana semula yakni USD 420 juta. Sebelumnya SMCB memiliki dua pabrik yang berlokasi di Cilacap, Jawa Tengah dan Narogong, Bogor, Jawa Barat. Dari kedua pabriknya tersebut, SMCB memiliki total kapasitas produksi sebesar 7,9 juta ton. 

Dari data Indonesia Cement Statistic, tahun 2007 lalu market share domestik SMCB sebesar 14,6 persen. Berada diurutan kedua dibawah Semen Gresik dengan 21,7 persen. Target market share tahun ini, Budi mengatakan juga belum tahu. “Yang jelas rencana pembangunan pabrik di Tuban adalah upaya kita memperkuat pasar domestik” ujarnya. Diperkirakan jika pabrik Tuban terealisasi, maka akan menambah kapasitas produksi semen SMCB menjadi 10,5 juta ton sampai 2011. Selama ini pasar semen SMCB memang dominan di dalam negeri. Ekspor dilakukan hanya jika ada kelebihan, untuk membantu pabrik Holcim lainnya di luar negeri.

Untuk rencana merger dengan anak usaha PT Semen Dwima Agung, Budi mengatakan realisasinya mungkin tidak tahun ini. “Merger ini hanya untuk penyederhanaan administratif saja” ujarnya. Terkait dengan harga saham SMCB sejauh ini, Budi mengaku cukup puas karena terjadi tren kenaikan. Karena itulah ia mengatakan bahwa SMCB belum memiliki rencana untuk melakukan buyback atas sahamnya. Saham SMCB pada perdagangan Jumat, (30/1) ditutup menguat 0.02 persen ke level Rp 580 per lembar saham.

David Cornelis/Pengamat Pasar Modal
Dengan adanya pemangkasan BI rate memang proyeksinya akan lebih atraktif bagi seluruh industri karena perubahan di sisi makro akan berpengaruh ke mikro. Namun tentunya butuh penyesuaian, ada 'time lag'nya. Biasanya berkisar 1-2 bulan. Secara umum akan memberi efek katalis dan sentimen yg positif, terutama ke industri manufaktur, semen, dan terkahir ke sektor property. Pertumbuhan penjualan semen di tahun 2008 masih double digit sekitar 13%. Untuk proyeksi 2009 kurang lebih akan flat atau cenderung turun karena tipisnya margin. Risiko yang muncul adalah terhambatnya kredit yang didapat. Urutannya preferensi untuk investor semen adalah INTP SMCB SMGR. SMCB sebenarnya lebih atraktif, walaupun dari sisi debt to equity ratio masih lebih tinggi dari peersnya (INTP,SMGR).