Wednesday, December 30, 2009

CATATAN AKHIR TAHUN EKONOMI JOGJA 2009

Tahun 2009 boleh dibilang jadi tahun penuh tantangan bagi Indonesia. Sederet peristiwa entah sosial, politik, ekonomi bahkan hukum menjadi hal penting yang tak bisa dikesampingkan begitu saja. Dari sudut pandang ekonomi, kita juga memulai tahun 2009 dengan sedikit ketidakberuntungan. Apalagi jika bukan karena terpaan krisis keuangan global yang episentrumnya berada di USA akhir 2008 yang dipicu kasus subprime mortgage. Meski terpaan krisis yang ditandai runtuhnya lembaga keuangan Lehman Brothers ini tidaklah sedasyat krisis moneter 1997/1998, dampaknya tetap saja terasa hingga ke tahun 2009. Anjloknya kinerja ekspor menjadi salah satu contohnya.

Di tingkat lokal, beberapa daerah basis UKM (Usaha Kecil Menengah) potensial berorientasi ekspor, mau tak mau juga ikut menerima kenyataan pahitnya usaha akibat melemahnya permintaan. Di DIY, berdasarkan data Disperindagkop DIY bulan Februari, ekspor ke kawasan Amerika turun 20% sedangkan tujuan Perancis turun 40 %. Ekspor tujuan Italia dan Spanyol masing-masing juga turun 10% dan 15 %, meski beberapa tujuan lain seperti Canada, Jepang, Jerman dan Inggris sedikit mengalami kenaikan.

Data bulan Februari, total ekspor produk-produk DIY sebesar USD20,43 juta, dengan volume ekspor 5,36 juta kilogram. Jumlah ini lebih sedikit disbanding periode yang sama 2008 dimana total ekspor DIY mencapai USD 23,83 juta dengan volume sebesar 8,67 juta kilogram. Untung saja tidak semua UKM berorientasi ekspor, karena tak sedikit pula yang masih berstatus mikro, yang “tak begitu” merasakan melemahnya demand karena fokus di pasar domestik.

Tahun 2009 juga menjadi tahun perjuangan bagi banyak UMKM yang terkena dampak gempa 2006. Non Performing Loan (NPL) alias kredit bermasalah yang menimpa mereka, harus diperparah dengan habisnya perlakuan khusus (salah satunya keringanan penagihan oleh bank kreditur) yang termuat dalam Peraturan Bank Indonesia, PBI No.8/10/PBI/2006 akhir Juni. Meski akhirnya Melalui perjuangan UMKM dan tim ad hoc serta itikad baik dari BI, keluarlah PBI baru No 11/27/PBI/2009 ditetapkan tanggal 1 Juli, yang memperpanjang durasi perlakuan khusus hingga Desember 2010.

Pemda DIY sendiri telah membantu menyelesaikan 1.970 kasus NPL, dengan total nilai mencapai Rp4,8 miliar lebih tahun 2009. Tahun 2008 Pemda juga telah menyelesaikan 892 kasus NPL, dengan nilai mencapai Rp2,44 miliar lebih. Namun memang belum semua terselesaikan, karena diperkirakan masih ada 2.645 kasus NPL UMKM pasca gempa dengan total Rp81,5 miliar yang akan diselesaikan melalui skema APBN. Jumlah tersebut sebenarnya belumlah pasti karena laporan dan pendataan terus dilakukan. Kabar terakhir menyebutkan hingga pertengahan Desember jumlahnya berkurang menjadi Rp75,8 miliar karena 385 diantaranya telah lunas dan ratusan kasus lainnya “rusak” karena tidak sesuai ketentuan.

UKM jelas menjadi salah satu basis ekonomi DIY selain pariwisata. Hingga bulan Maret 2009 saja jumlah total UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) DIY diperkirakan mencapai 76.300 lebih dengan penyerapan tenaga kerja tak kurang dari 273.621 orang. Jumlah ini tentu terus berubah seiring dengan perubahan dan dinamika yang ada.

Dari sektor pariwisata DIY, krisis keuangan juga sempat “menggoyang” bisnis pendukung wisata, khususnya usaha perhotelan. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY bahkan mengklaim telah terjadi penurunan kunjungan wisatawan hingga 40% selama periode Januari hingga April 2009. Turunnya kunjungan wisatawan asing disinyalir menjadi salah satu sebabnya. Promosi agresif dan gencar lantas menjadi salah satu solusi yang dilakukan. PHRI DIY juga telah mengajukan usul ke Pemda setempat untuk mengalokasikan 5%-10% pajak dari hotel dan restoran dan digunakan sebagai dana promosi wisata. Menteri Budpar, Jero Wacik sendiri juga sempat mengungkapkan perlu dana setidaknya USD100 untuk mendatangkan seorang turis asing ke Indonesia.

Untung saja, bulan Juli menjadi salah satu titik tolak perbaikan kunjungan wisatawan ke DIY, ditandai dengan dimulainya libur sekolah. Dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, terjadi kenaikan kunjungan wisatawan hingga 3,37% di bulan Juli, dibanding bulan sebelumnya. Jumlah tamu menginap di DIY selama Juli yang mencapai 282.762 orang, sedangkan Juni hanya mencapai 273.543 orang.

Mobilitas penumpang angkutan udara juga ikut terdongkrak hingga di atas 10%, akibat momen liburan sekolah yang berlangsung hingga pertengahan Juli. Jumlah penumpang yang datang melalui bandara Adisutjipto bulan Juli 2009 mencapai 158.134 penumpang. Lebih tinggi 10,38% dibanding jumlah penumpang selama Juni, yang hanya 143.263 orang. Uniknya, sektor perhotelan DIY juga mengalami imbas tak terduga saat terjadi aksi terorisme peledakan bom Ritz Calrton Kuningan bulan Juli lalu. Dikabarkan hotel-hotel di Jogja justru penuh karena banyaknya pengalihan tamu dari Jakarta dan Bali karena Jogja dirasa cukup aman.

Menjelang penghujung tahun, titik cerah di sektor wisata juga semakin terlihat. Sektor perhotelan mengalami siklus rutin peak season, akibat berbagai momen libur nasional mulai dari Lebaran, Natal hingga Tahun Baru. Tingkat hunian 17 hotel berbintang dipatok 100% selama momen-momen tersebut. PHRI sendiri menargetkan tahun ini tak kurang dari 350.000 turis asing masuk ke DIY.

Memang terlalu sempit jika melihat perkembangan pariwisata hanya dari sektor perhotelan saja, karena nyatanya banyak sektor lain yang mendukung, seperti infrastruktur, perpajakan, hingga perdagangan. Namun setidaknya perbaikan tersebut bisa menjadi sinyal positif dalam perkembangan pariwisata DIY, dan mampu menjadi momentum komitmen setiap elemen untuk bersama-sama mengambil langkah terbaik kemajuan pariwisata DIY. Perjuangan belum selesai.