Peristiwa penting yang terjadi di penghujung 2009 lalu, nampaknya masih bertalian erat dengan apa yang ada di benak masyarakat Indonesia awal tahun 2010 ini. Rentetan kasus hukum, politik, hingga peristiwa meninggalnya “Guru Bangsa”, Gus Dur tentu masih menjadi topik hangat yang dibicarakan orang di awal tahun baru ini, pun juga dengan perayaan malam tahun baru yang mungkin masih menyisakan rasa lelah bagi sebagian orang.
Kondisi agak berbeda muncul ketika membahas sektor ekonomi, dimana datangnya tahun 2010 justru menimbulkan dualisme sikap. Ada rasa optimis namun terbesit juga sebuah kekawatiran. Optimisme tumbuh karena dianggap banyak perbaikan pasca krisis keuangan global seiring berjalannya waktu. Tapi kekawatiran atas objek lain pun tampak jelas terlihat melalui berbagai pemberitaan ekonomi belakangan. Apalagi jika bukan karena datangnya era AC-FTA (ASEAN China-Free Trade Area) yang gong nya dimulai Januari 2010 ini.
Melalui format AC-FTA, telah disepakati penurunan dan penghapusan tarif bea masuk secara bertahap. Pertama melalui Early Harvest Programme (EHP) yaitu penurunan atau penghapusan bea masuk seperti produk pertanian, kelautan perikanan, makanan minuman dan lain-lain. Dilakukan secara bertahap sejak 1 Januari 2004 hingga 0% pada 1 Januari 2006. Tahap Kedua, yaitu Normal Track 1 (NT 1) dan NT 2. Untuk NT 1 bea masuk akan diturunkan hingga 0% mulai 20 Juli 2005 hingga 2010. Sedang NT 2 bea masuk akan turun hingga 0% pada tahun 2012 mendatang. Tahap ketiga adalah Sensitive Track (ST) dan Highly Sensitive Track (HST), untuk produk berkategori ST dengan penurunan hingga 0%-20% dilakukan mulai 2012 sampai dengan 2017, dan selanjutnya menjadi 0%-5% pada tahun 2018. Untuk kategori HST sampai dengan 0%-50% mulai dilakukan pada tahun 2015.
Konsep free trade lantas menjadi isu utama dalam kesepakatan yang ditandatangai di Phnomp Penh, Kamboja November 2002 silam itu. Konsekuensi-konsekuensi yang harus diterima, meski pada awalnya terlihat “menarik” akan tampak “mengerikan” jika dikaitkan dengan realita yang terjadi, khususnya faktor daya saing. Isu besar lainnya adalah nama China itu sendiri. Siapa tak kenal China? Duniapun telah mengakui China memiliki kedudukan penting dalam berbagai sektor. Bahkan saat krisis keuangan global melanda akhir 2008 lalu, China lah yang digadang sebagai mesin utama ekonomi dunia, dengan pertumbuhan ekonomi regionalnya diperkirakan mencapai 9,1% di tahun 2010.
Fakta menarik lainnya tersaji dalam buku berjudul
Di tingkat regional, DIY jelas menjadi salah satu daerah yang cukup berkepentingan dengan isu AC-FTA ini. Potensi lokal yang banyak tumbuh dari kekuatan UMKM dan pariwisata, cukup naïf jika hanya menutup mata hadirnya AC-FTA. Potensi pariwisatanya yang besar dan menjadi urat nadi perekonomian, didukung perkembangan sektor perdagangan yang muncul sebagai konsekuensi, jelas menjadi “lahan basah” tujuan ekspor negara lain. Padahal selama ini pasar domestik juga lah yang menjadi penopang kelangsungan usaha bagi ribuan UMKM, saat pasar asing mulai susah ditembus akibat krisis keuangan global.
Data Disperindagkop DIY menunjukkan, perkiraan sementara realisasi ekspor DIY tahun 2009 turun 10% dari 2008. Nilai penurunannya diperkirakan tak kurang dari US$13,5. Hal ini dipicu ketergantungan ekspor DIY ke Amerika yang mencapai 40%, bahkan pada kasus tertentu mencapai 45% dari total ekspor. Disperindagkop DIY lantas memang cukup optimis 2010 akan terjadi perbaikan ekspor setidaknya 6%, meski tidak menampik ada kekawatiran beralihnya minat masyarakat pada produk asing dengan datangnya AC-FTA. Disperindagkop DIY bahkan juga berharap adanya tinjauan kebijakan pusat terkait enegeri dan perpajakan, yang selama ini berpengaruh pada elemen harga, yang juga dianggap sebagai salah satu faktor penting daya saing produk.
Sementara itu, rencana kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik) di 2010 ini sepertinya menjadi pelengkap rasa was-was dunia usaha kita. Asosiasi Pertekstilan (API) DIY, telah mewanti-wanti dampak buruk sebagai konsekuensinya. Secara tegas mereka menyatakan daya saing akan terancam jika memang TDL benar-benar naik, disebabkan kebutuhan energi di sektor industri yang cukup besar. Pada gilirannya produk nasional lah yang akan menjadi korban, yang terefleksi pada penurunan kinerja ekspor.
Kadin DIY sendiri menyoroti realitas UMKM DIY yang masih banyak didominasi kelas mikro. Menurut Kadin DIY, segmen ini sering tidak berdaya mengakses pasar internasional, bahkan untuk mencari sumber permodalan dari perbankan juga terhambat karena tidak terlembaga dan tidak memiliki legal formal. Diperkirakan dari ratusan ribu UMKM Jogja, yang memiliki akta notaris hanya sekitar 5%, itu pun yang berbentuk badan hukum hanya 17%. Padahal produktivitas menjadi modal penting dalam bersaing di era AC-FTA. Kadin DIY bahkan telah menyatakan kesediaannya untuk mempelopori pembentukan konsorsium bagi UMKM-UMKM tersebut, untuk mengatasi masalah legal formal.
Ekonomi belum sepenuhnya pulih dari dampak krisis keuangan global. Meski Bank Indonesia (BI) Yogyakarta memperkirakan pertumbuhan ekonomi DIY tahun 2010 di kisaran 4%-4,5%, lebih tinggi dari tahun 2009 3,5%, namun nilainya masih di bawah pertumbuhan ekonomi 2008 (sebelum krisis) sebesar 5,02%. Ralisasi pertumbuhan kredit DIY tahun 2009 diperkirakan juga hanya 10% dari target 15%. Padahal tahun 2008, kredit DIY tumbuh 15,64%. Tahun 2010 ini BI DIY memperkirakan akan ada kenaikan kredit hingga 15%. Namun sekali lagi ini masih perkiraan.