Monday, October 26, 2009

Dinamika menuju pasar bebas, tak bisa dibendung tapi bisa berkelit

UMKM SEKARANG BELUM SIAP

Oleh Galih Kurniawan

JOGJA:Gaung pasar bebas agaknya semakin keras beberapa waktu belakangan. Pola yang dianggap sebagai bagian dari integrasi ekonomi antar bangsa ini, oleh beberapa pihak dianggap perlu untuk segera dilakukan. Salah satu alasan yang sering mengemuka adalah “keseimbangan” transaksi, yang harus membuka diri satu sama lain untuk mendapatkan benefit.

Mengutip pernyataan, Ketua API DIY, Jadin C Jamaludin, konsisi UMKM saat ini belumlah siap menghadapi era pasar bebas. Menurutnya kondisi UMKM saat ini hanya sebatas image saja, karena ideologi soal UMKM dari pemerintah tidak jelas mengarah ke mana. “UMKM ini kan terbentuk dari masyarakat kecil, mereka yang tidak terserap ke sektor formal akhirnya beralih ke sektor in formal. Yang harus dilakukan justru adalah penguatan dari bawah, internal UMKM. Globalisasi mungkin tak bisa dibendung tapi kita bisa berkelit, tinggal bagaimana pemerintah,” tegasnya.

Ia mencontohkan bagaimana awalnya dulu China banyak diklaim sebagai penjiplak, namun pemerintahnya benar-benar melakukan penguatan masyarakat bawah. “Ibaratnya kita tertinggal 20 tahun dari negara maju, mindset UMKM harus diubah ke yang sebenarnya. Perbankan juga saya kira terlalu cepat melakukan independensi,”.

Daya saing
Hal yang agak ambigu justru diungkapan Kepala Pusat Studi Asia Pasifik UGM, Sri Adiningsih, karena posisi dukungannya yang belum bisa “ditegaskan”. Ia mengatakan, dari hasil penelitiannya di tahun 2007, ada wilayah yang justru beralih menjadi pedagang dari sebelumnya produsen. “Penelitian tahun 2007 di Surakarta, khususnya untuk produk tekstil, banyak produsen yang berubah haluan menjadi pedagang, jumlahnya sekitar 20%,”. Menurut dia hal itu disebabkan karena daya saing produknya yang rendah, kalah dengan produk impor dari China. “Mereka banyak yang yang memilih impor produk dari China, karena untuk produksi sendiri justru perlu biaya lebih mahal dan berisiko,” timpalnya.

Namun begitu ia juga mengungkapkan, jika memang ke depan masa depan APEC mengarah ke free trade area, prospek bisnis Indonesia kesempatannya makin besar, meski persaingan juga makin ketat. “Dari studi kita di Cilegon tahun 2008, ternyata FDI (Foreign Direct Investment) khususnya bidang kimia dan farmasi secara umum memberikan keuntungan bagi ekonomi. Yakni dalam hal nilai tambah dan penyediaan lapangan kerja,”. Ia juga memaparkan, hasil studinya yang terakhir di Cilacap memperlihatkan, ekonomi APEC merupakan tujuan penting dari TKI dan TKW. Nah lho...jadi liberalisasi didukung atau ditolak bu?????

Wednesday, October 21, 2009

Resensi Buku: Ekonomika Indonesia (Mudrajad Kuncoro)


SAATNYA PAHAM EKONOMI BANGSA SENDIRI


Oleh Galih Kurniawan

Dinamika perkembangan negara, baik secara internal maupun regional tentu tak bisa lepas dari perubahan perekonomian yang ada, yang juga saling terkait. Ekonomi internasional adalah satu hal, tapi di sisi lain juga ada ekonomi nasioanal yang perlu dipahami (untuk tidak menyebut lebih penting), oleh siapapun yang memang peduli (atau sekedar ingin tahu) pada bangsa ini.

Namun sayang, literatur yang membahas mengenai perekonomian nasional Indonesia, kebanyakan justru datang dari penulis-penulis asing yang justru berani (dan mau) mengangkat sisi lain Indonesia dari sudut pandang ekonomi. Hal ini pulalah yang mendasari Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, sekaligus pakar ekonomi nasional, Prof Mudrajd Kuncoro Phd, menghadirkan salah satu buku terbarunya berjudul Ekonomika Indonesia yang dirangkumnya dari “perjalanan analisanya” selama lima tahun terakhir.

Sekilas melihat fisik buku, dengan tebal tak kurang dari 510 halaman (bahkan awalnya ditulis lebih banyak), reaksi pertama dari calon pembaca pasti “awang-awangen”. Namun beda kiranya jika sudah membaca beberapa bab dari buku ini, alur ceritanya jauh dari kesan teoritis khas akademisi, karena justru fakta-fakta praktis atas berbagai peristiwa juga banyak diungkap penulis yang terkenal “mahir bercerita angka” ini.

Meksi begitu, dukungan data empiris tetap menjadi daya penguat yang patut diapresiasi atas keberhasilan dalam mengungkap sisi human interest dari data tersebut. Misalnya saja, pembahasan mengenai pola pergerakan kurs valas yang dibahas di bab lima. Ternyata dalam setiap pemerintahan pasca krisis ekonomi, pergerakan kurs memiliki tendensi yang berbeda-beda, khususnya pada pasa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Dalam sebuah kesempatan bertemu, penulis mengungkapkan bahwa pada masa Gus Dur, ternyata banyak pelaku pasar yang menunggu statemen Gus Dur usai sholat Jumat, meski tidak mempengaruhi fluktuasi perdagangan nilai tukar di hari Senin.

Tak hanya menceritakan peristiwa-peristiwa yang telah menjadi bagian sejarah, dalam buku ini penulis secara tidak langsung juga mengajak siapapun (terutama pemerintah) untuk berkaca pada sejarah dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Pada bab 19, Mengembangkan Ekonomi Kerakyatan Dengen Akselerasi Sektor Riil dan UMKM, materi dan pembahasan (retoris?) yang disampaikan layak menjadi pertimbangan tersendiri bagi penentu kebijakan. Belum lagi bab 23, yang membahas percepatan pembangunan daerah tertinggal sebagai upaya pemerataan pembangunan dan hasilnya, bisa menjadi semacam “konsideran” bagi para petinggi-petinggi negara.

Kesimpulannya, seperti yang ditulis Prof Mudrajad dalam kata pengantarnya, buku ini adalah salah satu upaya membumikan ekonomika Indonesia dengan contoh kebijakan, kasus dan data Indonesia, dan langsung ditulis oleh orang Indonesia, sudah selayaknya mendapat apresiasi. Meski tak dipungkiri masih ada beberapa “tema” yang belum selesai dibahas dalam buku ini, namun justru itu bisa menjadi bahan yang bisa didiskusikan alias debatable. Pola-pola ini juga yang agaknya menjadi salah satu tujuan penulis menghadirkan teme-teme menggelitik entah hasil pengalaman sendiri atau hasil diskusi dengan narasumber lainnya.